Published Sabtu, April 21, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Mereka Mulai Menyebutku Gila!

Tahun ini usiaku genap dua puluh tiga tahun. Sebuah perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan untuk manusia biasa sepertiku yang sama sekali bukan wonder woman. Aku lahir sebagai anak normal yang tidak sepenuhnya mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Masa kecilku tidak sebahagia anak-anak pada umumnya. Aku berjuang hidup sendirian. Dalam himpitan ekonomi yang pas-pasan, hujatan dan kesedihan, namun tetap bersih dari alkohol, rokok, kehidupan malam apalagi free sex. Prestasiku cukup bagus dan aku berhasil lulus dari sebuah universitas yang cukup ternama.

Tak ada seorangpun yang tahu ketakutan, kesakitan, serta kegelapan yang kurasakan dari hari demi hari. Semua orang hanya melihat topeng cantikku yang ceria, kuat, dan tegar dalam menjalani hidup. Aku termasuk orang yang cinta damai. Tapi entah kenapa masalah selalu mengejarku kemanapun aku pergi. Aku tidak pernah dengan sengaja melukai hati siapapun. Tapi entah kenapa pula, aku selalu menjadi bahan gosip dan pergunjingan dari orang-orang di sekitarku.

Beberapa bulan belakangan ini, aku mulai merasa aneh terhadap diriku sendiri. Aku yang biasanya suka bersikap lembut dan ramah, beberapa waktu sempat menjadi sering marah-marah tidak jelas, bahkan untuk hal-hal yang sepele. Aku lebih mudah tersinggung, pun terkadang memiliki perubahan ide yang terlalu cepat. Intinya, aku bersikap begini itu pasti akan sangat menguji kesabaran orang-orang terdekat; apalagi orang yang hampir setiap hari bersama ataupun berkomunikasi denganku. Namun, ketika masa cooling down tiba, aku justru kembali berubah menjadi gadis yang super manis.

Aku tidak memiliki teman yang dapat dijadikan sebagai tempat sharing atau sekedar cerita, karena aku merasa bahwa tidak ada yang pernah mengerti ketika aku sedang bercerita. Aku biasa berbicara dengan cepat namun tidak ada dasarnya, sehingga beberapa temanku justru menjadi tidak menangkap maksud dari apa yang aku ceritakan. Hal tersebut pun membuatku tidak pernah mau untuk bercerita lagi. Aku menjadi lebih tertutup dan lebih suka berbicara sendiri ketika sedang sendirian. Aku merasa seperti ada orang yang menyauti pembicaraanku. Aku juga suka mengungkit-ungkit kesalahan orang di masa lalu, hingga membuatku marah-marah sendiri. Pun aku menjadi orang yang boros, membeli sesuatu yang sebetulnya tidak benar-benar aku butuhkan. Aku juga suka lagu-lagu sedih, lagu yang ketika mendengarnya mampu membuat hatiku mendayu-dayu.

Selain itu, jadwal tidur pun adalah hal tersulit yang paling susah untuk aku atur. Terkadang aku aktif di malam hari; tertidur di siang hari; beberapa hari tidak tidur; atau bahkan menjadi putri tidur yang menghabiskan seharian waktunya untuk terbaring di atas kasur. Aku selalu merasa sendiri, sepi, tidak berguna, bahkan sampai merasa menyesal kenapa aku harus hidup, jika hidup aku sedepresi ini. Aku banyak menghabiskan waktu di kamar, melakukan hal-hal yang aku sukai dan menghindari interaksi dengan orang lain.

Aku tidak tahu secara pasti sejak kapan sebenarnya aku mengalami hal ini, karena sejak jaman sekolah; tepatnya saat masih duduk di bangku sekolah dasar pun aku sudah memiliki suicidal thought. Namun, seingatku, aku memang memiliki banyak memori yang tidak begitu menyenangkan semasa kecil. Mungkin teman-temanku mengira aku adalah orang yang aneh, karena pada suatu saat aku bisa jadi ikut bergabung pada beberapa lingkaran sosial, namun di waktu lainnya aku justru menghilang tanpa jejak.

Dan, ya, hari demi hari pun berlalu. Akhirnya aku pun memutuskan untuk berkonsultasi kepada seorang psikiater. Sebelumnya aku memang sempat menjadi silent reader di beberapa thread kaskus, sampai akhirnya perhatianku tertuju pada thread dengan judul, "Aku dan Bipolar Disorder." Ketika aku membacanya, bisa dipastikan, bahwa aku merasa apa yang tertulis di thread itu merupakan suatu kemiripan dengan apa yang sedang aku alami saat ini. Mungkin hal tersebut merupakan salah satu penyebab mengapa aku memutuskan untuk menemui seorang psikiater.

Tetapi, saat itu, seorang psikiater yang aku temui menjelaskan bahwa penderita bipolar sebenarnya bukan orang gila, melainkan pemilik penyakit suasana hati dimana perubahan mood terjadi sangat cepat; dari ceria ke depresi akut yang dapat menyebabkan timbulnya penurunan kualitas hidup; atau lebih tepatnya menjadi jarang bergaul dan menjadi penyendiri. Lebih parahnya lagi, tidak sedikit penderitanya yang justru memiliki keinginan untuk melakukan suicide attempt. Penderita bipolar akan mudah marah, mudah bertengkar, ataupun sampai melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain dan diri sendiri; jika itu tidak diatasi dengan baik.

Jika ditanya bagaimana reaksiku saat mengetahuinya, jelas aku menjawab bahwa aku sangat terpuruk. Terlebih, saat ini pun aku berjuang sendirian untuk mengatasinya. Tanpa obat, tanpa support, dan tanpa caregiver; bertahan hidup di tengah ketidakmengertian masyarakat Indonesia tentang apa itu gangguan kejiwaan. Sangat menyakitkan ketika aku merasakan sakit secara fisik dan psikis, namun penampakan fisik justru terlihat sehat dan baik-baik saja. Tidak ada seorang pun yang percaya bahwa aku sedang berjuang melawan sebuah penyakit selain dokter jiwa dan sesama penderita. Tudingan menyebarkan kebohongan publik, drama queen, serta menjadi seseorang yang tidak beriman pun harus aku terima.

Ya, begitu mudahnya manusia lain mendiskreditkan penderitaan hidup orang lain sebagai akibat dari lemahnya iman seseorang. Sebetulnya iman itu apa? Bukankah yang paling pantas untuk mengukur iman kita hanyalah Sang Pencipta? Justru aku sangat mencintai Tuhanku, dan karena itulah aku mampu bertahan hidup selama ini. Menahan kesakitan dan kepedihanku yang tidak pernah dimengerti dan diterima orang lain, membiarkan semua orang berprasangka buruk terhadap 'perbedaanku'.

Namun, karena hal itulah, aku menjadi suka menulis memoarku, aktif memotivasi orang lain, serta berusaha setidaknya mulai mebuka mata masyarakat umum tentang adanya sebuah penderitaan yang melebihi penderitaan fisik; yaitu penderitaan mental. Betapa banyaknya kejahatan dan kehidupan yang rusak serta hancur yang dimulai dari derita jiwa; anak-anak broken home, anak-anak bermasalah: baik drugs, narkoba kehidupan bebas tanpa moral, kriminalitas, dan kehidupan amoral yang sekarang mulai mengisi dunia, yang semua itu tidak hanya bisa diatasi dengan agama.

Untuk orang-orang yang sudah mencapai taraf seperti itu, sakit di jiwanya haruslah disembuhkan terlebih dahulu agar bisa dituntun ke dalam kesadaran akan iman dan agama, bukan langsung dikucilkan atau dianggap tidak beriman. Ya, mereka, kami, aku, hanya butuh DITERIMA. Penerimaan yang kemudian akan menjadi langkah awal dari pengertian. Dua hal yang akan menjadi pilar utama bagi kesembuhan mental dan jiwa yang sakit, agar dapat menjadi manusia yang 'dianggap' normal dan sadar bagi masyarakat di sekelilingnya.

Namun, dari hal-hal yang terjadi dalam hidupku, setidaknya aku mendapatkan beberapa pelajaran berharga yang bisa sedikitnya mendukungku. Saat aku menjalani terapi, aku mendengarkan sedikit cerita orang-orang yang memiliki penyakit yang sama denganku. Mataku agaknya sedikit terbuka dengan segala gangguan jiwa. Dan, ya, dari sinilah aku menemukan adanya satu ciri khas yang menempel pada penderita tersebut; yaitu bahwa mereka kesepian. Mereka hanya butuh tempat curhat, sementara orang-orang di luar sana, atau bahkan keluarga mereka sendiri menganggap mereka adalah manusia yang aneh. Mereka gila! Ya, mereka menyebutku gila! Padahal, kami hanya butuh didengar dan ditemani. Kami hanya butuh support pada masa-masa sulit itu.

Pada intinya, tolong jangan hakimi hidup seseorang bila hidup seperti apa yang sebenarnya sedang ia jalani pun kita tidak mengetahuinya. Sebagaimana hidupku. Bila aku boleh memilih, aku pun hanya ingin menjadi orang normal seperti kalian tanpa perlu embel-embel sebagai penderita gangguan jiwa. Aku pun jelas tidak memilih untuk memiliki ketidakstabilan mood yang ekstrim ataupun ketidakstabilan cairan di otakku. Ya, jelas aku tidak memilih lahir di kehidupan sulit yang mungkin 'bisa disalahkan' sebagai penyebab 'ketidaknormalanku'.

Aku memang seorang bipolar disorder! Tapi jelas aku pun tidak mau seperti ini. Siapa yang harus aku salahkan dalam kondisi seperti ini? Aku sudah melakukan apa yang aku bisa. Tapi, bila 'sakit' adalah 'sakit', lalu kepada siapa aku dapat protes? Aku hanya mampu mengadu kepada Tuhanku, dan berusaha untuk menyalurkan 'sakit' itu kepada hal-hal yang lebih positif. Tapi, sebesar apapun usahaku, pasti akan ada sedikit celah-celah di dalamnya. Maaf kalau aku tidak bisa menjadi seorang perempuan yang sempurna seperti yang kalian mau. Aku bukan wonder woman. Karena aku hanyalah manusia biasa...

*

Kisah di atas sebenarnya adalah campuran dari beberapa kisah iniiniiniiniini, ini, yang juga pada kesimpulannya didukung penuh oleh artikel ini; yang telah saya rangkum sekaligus saya rangkai agar menjadi sebuah kisah yang utuh. Bipolar. Ya, saya sudah pernah mengatakan bahwa saya sedang tertarik pada penyakit ini; dan sedang bersemangat sekali untuk mempelajarinya. Penyakit ini memang merupakan penyakit kedua yang sedang saya pelajari, sebelum penyakit pertama yang juga pernah saya tuliskan rangkumannya: lupus.

Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting dari beberapa kisah penderita bipolar di atas; yang juga saya ambil dari sumber-sumber yang saya cantumkan di paragraf sebelumnya. Mungkin kebanyakan orang justru menganggap rendah orang yang mengalami gangguan jiwa, baik itu penderita depresi, bipolar, skizofrenia, gangguan panik dan cemas, dan lain-lain. Selain itu, biasanya mereka pun bertanya-tanya, mengapa ada hal seperti itu di dunia ini, dan justru menjadi penasaran dengan bagaimana rasanya. Mereka akan berusaha untuk mencari jawaban yang tepat; namun, semakin mereka mencari, mereka justru akan semakin bingung karena mereka tidak pernah merasakan sendiri bagaimana menjadi seorang penderita gangguan kejiwaan. Akhirnya? Mereka hanya akan membandingkan penderita gangguan kejiwaan dengan diri mereka yang normal, hingga pada suatu kesimpulan bahwa orang yang menderita gangguan kejiwaan hanyalah orang yang tidak kuat ketika ditimpa suatu masalah, tidak berpegang pada agama, rapuh, dan stigma negatif lainnya.

Bipolar sendiri dapat timbul karena beberapa hal. Menurut Asosiasi Psikiatris Dunia (WPA), bipolar disebabkan oleh tiga hal. Pertama, struktur otak. Ilmuan menemukan bahwa adanya perbedaan ukuran otak antara penderita bipolar. Inilah yang menyebabkan kecelakaan pada kepala bisa menyebabkan seseorang mendadak menderita bipolar. Tapi, temuan yang lebih umum adalah kadar senyawa di otak yang tidak seimbang, sehingga obat-obatan akan sangat membantu menetralisir kondisi ini. Penyebab kedua adalah tekanan yang menyebabkan stress dari lingkungan. Pengaruh stress yang berlebihan ternyata dapat memicu kekurangan zat kimia tertentu di otak. Sedangkan penyebab ketiga adalah faktor genetik. Meskipun penelitian hal ini masih berlanjut, ilmuan menemukan jika seorang anak dapat mengidap bipolar turunan dari orang tuanya. Ya, bipolar memang merupakan salah satu gangguan kesehatan mental, namun bukan berarti bahwa penderitanya adalah seseorang yang biasa masyarakat kita menyebutnya dengan 'orang gila'.

Sementara dalam penangannya, orang dengan bipolar perlu perhatian khusus. Perubahan suasana hati yang ekstrem sering kali menjadi penyebab mereka bertindak tidak dengan pikiran yang jernih. Ian dalam Shameless digambarkan pernah menculik anak kekasihnya, dan meninggalkan bayi itu dalam mobil untuk waktu yang lama. Sementara, Marshanda seperti yang kita ketahui pernah mengungah video marah-marahnya ketika dalam keadaan depresi, yang justru menimbulkan cibiran dari orang-orang yang tidak mengerti. Tidak jarang, dalam kondisi depresi, orang dengan bipolar akan dengan mudah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Pengawasan orang terdekat jadi modal utama bagi penderita bipolar untuk sembuh.

Ya, di dunia, banyak selebriti yang mengidap gangguan ini; seperti Catherine Zeta-Jones, Demi Lovato, dan Sinead O'Connor. Pun di Indonesia, gangguan bipolar mulai dikenal luas ketika pesohor Marshanda membuat heboh dengan drama penyanderaannya di rumah sakit oleh sang ibu. Namun, bipolar tidak selamanya dikaitkan dengan perspektif yang negatif. Banyak penderita bipolar yang justru mampu menyalurkan 'penyakit'-nya itu menjadi sesuatu yang positif; bahkan mampu menjadi kelebihan bagi dirinya sendiri.

Seperti Vindy Ariella yang justru menjadi motivator dan sering muncul pada seminar-seminar yang berkaitan dengan bipolar; atau Dini yang mampu menyalurkan gejala bipolarnya pada kesenian dan mampu mempertahankan indeks prestasinya di angka 4 pada setiap semesternya; atau Hanna Alfikih yang menjadi delegasi yang dikirim British Council Indonesia untuk mengikuti Unlimited Festival di London, Inggris; atau beberapa selebriti dunia seperti Demi Lovato dan yang lainnya yang sempat saya sebutkan di atas. Mereka hanya butuh dukungan, butuh tempat, dan tidak dikucilkan; atau lebih tepatnya tidak dibedakan. Sekali lagi, bipolar memanglah sebuah 'penyakit', namun dapat dijadikan sebagai sebuah kelebihan jika mampu ditangani dengan benar.


Purwokerto, pada malam-malam yang akan terasa lebih panjang;
mungkin orang-orang terdekatku merasakan hal yang sama;
sehingga aku pun sedang berusaha mempelajarinya.